Rivalitas politik dan kompetisi ekonomi antar raja-raja “Melayu”, ternyata telah menarik banyak peneliti asing untuk melakukan riset di Nusantara. Anthony Reid, Leonard Andaya, Timothy Barnard, dan Anthony Milner, merupakan sedikit dari peneliti-peneliti asing yang rajin mengungkap konflik dan persaingan di Selat Malaka. Bagi penulis sendiri, membaca kisah persaingan ini sama seperti halnya membaca rivalitas raja-raja di Laut Tengah : dari masa Romawi vs Kartago, hingga ke era persaingan Turki Utsmani melawan Venesia dan Spanyol. Yang menarik dari cerita itu, banyak pula kisah-kisah kelam seperti tipu muslihat, intrik, dan konflik internal yang kemudian menjadi petite histoire. Selain karya peneliti asing, dari dalam negeri terbit pula buku-buku yang ditulis oleh Raden Hoesein Djajadiningrat, Amir Luthfi, dan Suwardi Mohammad Samin. Sebelum masa kemerdakaan dan bahkan jauh dari itu, di tanah Melayu sudah ada cerita-cerita yang mengupas kisah heroik pertempuran di Selat Malaka. Beberapa yang cukup terkenal antara lain : Hikayat Hang Tuah, Hikayat Siak, Syair Perang Siak, dan Hikayat Aceh. Sebagian isi catatan tersebut memang diambil dari fakta historis, namun sebagian yang lain lebih sebagai bentuk justifikasi kekuasaan. Sama seperti banyak buku sejarah yang ditulis pada masa Orde Baru. Dalam artikel ini penulis akan mencatat kembali persaingan raja-raja “Melayu” di Selat Malaka, dengan membaginya ke dalam dua fase waktu : pertama 1511 – 1641, dimana terjadi kompetisi segi tiga antara Aceh, Johor dan Portugis, dan pada fase kedua (periode 1641 – 1824), mengenai persaingan antara Johor melawan Jambi, serta Johor melawan Siak. Pada masa ini kita juga akan melihat bagaimana pengaruh raja-raja Pagaruyung, petualang Bugis, serta para pedagang Inggris dan Belanda, dalam merebut supremasi di Selat Malaka.
Reruntuhan Benteng Portugis di Malaka : A Fomosa
Portugis Menyerang Malaka
Sejak berabad-abad lalu, Selat Malaka telah menjadi arena unjuk kekuatan antar kerajaan di Sumatera dan Semenanjung Melayu. Pentingnya penguasaan atas perairan sempit sepanjang 500 mil itu, makin terasa sejak jatuhnya Konstantinopel ke pangkuan Kesultanan Utsmani. Jalur Sutera yang sebelumnya menjadi jalur favorit para kafilah, telah diblokir oleh raja-raja Turki. Sehingga banyak pedagang Eropa dan Asia yang sebelumnya menggunakan jalur darat untuk berdagang, harus berlayar mengitari Tanjung Harapan, Lautan Hindia, hingga ke Selat Malaka. Sejak itulah Selat Malaka yang menjadi basis perdagangan orang-orang “Melayu”, menjadi jalur yang ramai. Karena pentingnya jalur perdagangan tersebut, banyak pihak yang meyakini bahwa jika menguasai Selat Malaka, maka kerajaannya akan kuat dan disegani. Mitos ini tak hanya dianut oleh raja-raja “Melayu” saja, namun juga dipercaya oleh para pelaut Portugis. Ini terlihat dari pernyataan Albuquerque yang mengatakan bahwa : “barang siapa yang menguasai Malaka, maka ia bisa menghancurkan perdagangan kaum Muslim dan mencekik Venesia.” Di abad ke-15, hampir keseluruhan perdagangan Eropa bergantung dari usaha para saudagar Muslim dan Venesia. Mereka bisa menentukan harga seenaknya, dengan mengatur suplai komoditas yang laku di pasaran. Dari perdagangan inilah kemudian, banyak orang Venesia dan masyarakat di tepi Samudera Hindia yang memiliki kekayaan berlimpah ruah. Karena ingin melepas jeratan dari para pedagang Muslim dan Venesia, pelautpelaut Portugis berusaha untuk menguasai jalur perdagangan ke dunia timur. Setelah merebut Goa dari Kesultanan Bijapur, misi Portugis selanjutnya adalah menaklukan Selat Malaka. Sebagai langkah awal, Raja Portugal Manuel I mengutus Diego Lopes de Sequeira untuk menjalin hubungan dengan penguasa Malaka. Namun karena bisikan para pedagang yang berkumpul di Malaka, sultan malah menyerang utusan tersebut. Para pedagang itu menginformasikan bahwa kedatangan Portugis sebenarnya hendak merebut Malaka seperti yang telah mereka lakukan terhadap Goa, Hormuz, dan Socotra. Mendengar kabar yang kurang sedap, Alfonso de Albuquerque penguasa Portugis di India, membawa 18 buah kapal dan 1.200 orang tentara dari Goa menuju Malaka. Tanggal 25 Juli 1511, Portugis melancarkan serangan pertamanya. Namun serangan ini berhasil dipatahkan oleh pasukan Malaka. Serangan kedua terjadi pada tanggal 15 Agustus 1511, dan berhasil menghancurkan benteng pertahanan Malaka. Meski Kesultanan Malaka dilengkapi oleh 3.000 artileri dan 20.000 pasukan, namun kecanggihan militer Portugis menyebabkan mudahnya kesultanan itu ditaklukan. Ternyata dalam penyerangan ini tak hanya faktor militer saja yang berperan, namun juga hal-hal non-teknis lainnya. Tan Malaka dalam bukunya “Dari Penjara ke Penjara” menulis adanya konflik internal di tubuh Kesultanan Malaka yang menyebabkan mudahnya pasukan Portugis merebut kerajaan tersebut. Walter De Gray Birch menyebutkan terdapat lima orang pedagang China yang sedang bersengketa dengan sultan, yang membantu Portugis menyelundupkan tentara mereka ke Malaka. Dengan bantuan tersebut, pasukan Portugis yang hanya berjumlah 1.200 serdadu dengan mudahnya mengepung benteng Kesultanan Malaka. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, menyebabkan berubahnya konstelasi politik di Timur Jauh. Portugis yang selama ini tak pernah dikenal, tiba-tiba datang
merangsek dan mengancam kerajaan-kerajaan di Asia. Salah satu negara yang merasa khawatir atas kejatuhan Malaka adalah Tiongkok. Oleh karenanya, Kaisar Tiongkok berulang kali meminta Portugis untuk segera angkat kaki dari Malaka. Namun permintaan tersebut tak pernah mereka gubris. Akibatnya Kaisar Zhengde menjadi murka dan membunuh beberapa orang diplomat Portugis yang datang ke China. Tak hanya itu, kaisar juga memerintahkan para pedagang China untuk memboikot bisnis Portugis di Malaka. Selain Tiongkok, pihak lainnya yang terganggu dengan kehadiran Portugis ialah Kesultanan Demak. Karena itulah pada tahun 1512, putra Raden Patah : Pati Unus menyerang Portugis di Malaka. Dalam penyerangan itu, Rosihan Anwar menyebut ada 100 buah kapal dan 12.000 orang tentara yang dibawa ke Selat Malaka. Namun serangan tersebut gagal total, dimana hanya 7 kapal yang kembali ke Jawa. Di tahun 1521, sekali lagi Demak menyerang Portugis. Lagi-lagi Pati Unus gagal memenuhi ambisinya, dan ia wafat dalam invasi tersebut. Pati Unus adalah seorang raja Demak yang ambisius. Dia merupakan salah seorang raja “Jawa” yang menginginkan penguasaan atas Selat Malaka dan seluruh pantai utara Jawa. Menurut Hikayat Banjar, ia pernah membantu Pangeran Samudera mendirikan Kesultanan Banjar. Mungkin bantuan tersebut sebagai pintu masuk Demak untuk menguasai Kalimantan Selatan. Mengenai asal usulnya hingga saat ini masih terdapat perbedaan. Ahli sejarah Belanda : Pigeaud dan De Graaf menyatakan bahwa ia adalah seorang Tionghoa muslim bernama Yat Sun. Namun Salman Iskandar menyebut ia adalah seorang Parsi yang bernama lengkap Raden Abdul Qadir bin Raden Muhammad Yunus. Pendapat lain datang dari Kardiyat Wiharyanto yang mengatakan ia putra Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak yang berdarah campuran Jawa dan Champa. Tak hanya silsilahnya yang diperdebatkan, penyebab kematiannya-pun hingga saat ini masih jadi tanda tanya. Sebagian sejarawan mencatat ia wafat ketika menyerang Portugis di Malaka. Namun G.P. Rouffaer berpendapat ia meninggal karena sakit paru-paru akibat tertusuk keris. Setelah gagal mempertahankan Malaka dari serangan Portugis, kaum kerabat Sultan Mahmud Syah lari menuju Bintan. Dari Bintan mereka menyeberang ke Kampar dan ditempat itulah beliau mangkat. Putranya Alauddin Syah, lalu pergi meninggalkan Kampar menuju Pahang. Dari Pahang ia kemudian pergi ke Johor Lama dan mendirikan Kesultanan Johor. Setelah Sultan Alauddin Syah membangun pusat pemerintahan baru di muara Sungai Johor, perlawanan terhadap kekuasaan Portugis kembali berlanjut. Namun angkatan perang Johor yang tak begitu kuat, belum mampu menggoyahkan armada besar Portugis di Selat Malaka.
Kompetisi Segi Tiga : Aceh, Johor, dan Portugis
Tak lama setelah Kesultanan Johor berdiri, di kawasan utara Pulau Sumatera muncul kekuatan baru yang cukup digdaya : Kesultanan Aceh. Kesultanan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Lamuri di bagian timur Aceh. Raja-raja Aceh, seperti halnya penguasa Sriwijaya dan Pagaruyung, memiliki mindset bisnis yang cukup jitu. Sultan-sultan mereka dari masa Ali Mughayat Syah hingga Sultan Iskandar Muda, selalu berusaha untuk menjadikan Kutaraja (ibu kota Aceh) sebagai pusat bisnis di Selat Malaka. Dengan cara itu mereka bisa mendapatkan pajak perdagangan sekaligus mengontrol perniagaan di belahan barat Nusantara. Untuk menguasai perdagangan di kawasan selat, Aceh secara konsisten melakukan invasi dan penghancuran terhadap pesaing-pesaing mereka. Johor dan Portugis merupakan dua kekuatan utama yang kerap menggangu rencana Aceh untuk memonopoli jalur perdagangan Selat Malaka. Oleh karena itu dua kekuatan tersebut selalu menjadi target penyerangan Aceh dari masa ke masa. Namun sebelum menghancurkan Johor dan Portugis, Aceh harus terlebih dahulu melumpuhkan kerajaan-kerajaan kecil di timur Sumatera. Hal ini untuk menghindari keberpihakan mereka pada dua kekuatan tersebut. Di awal dekade 1520-an, Aceh menundukkan Pasai sekaligus menggabungkan kerajaan tersebut ke dalam teritorial mereka. Serangan pertama Aceh terhadap Portugis terjadi pada tahun 1537. Ketika itu, Aceh di bawah pimpinan Sultan Salahuddin berhasil menempatkan 3.000 pasukannya di Malaka. Namun penyerangan ke benteng Portugis : A Fomosa, tak membuahkan hasil. Dua tahun kemudian Aceh menginvasi orang-orang Batak di selatan dan memaksa mereka berpindah agama. Pada tahun 1540 Aru di tanah Deli juga ikut diserang. Dalam penyerangan itu Aceh dibantu oleh 160 orang tentara Turki dan 200 prajurit dari Malabar. Atas bantuan koalisi Johor-Bintan, Aru dapat menghalau pasukan Aceh. Karena bantuan tersebut, hingga tahun 1564 Aru berada di bawah kekuasaan Johor. Pada tahun 1547 Aceh sekali lagi menyerang Portugis. Lagi-lagi usaha di bawah pimpinan Alauddin Al-Kahar itu mengalami kegagalan. Meski gagal dan gagal lagi, namun semangat tentara Aceh untuk menyerang orang-orang Feringgi tak pernah pudar. Untuk memperkuat angkatan perang, pada tahun 1561 Alauddin Al-Kahar menjalin kerjasama dengan Kesultanan Utsmani. Sejak saat itu, Aceh sering menerima senjata-senjata mutakhir yang kemudian digunakan untuk melumpuhkan lawan-lawannya. Disamping membangun kekuatan militer, kerjasama ini juga bertujuan untuk memperlemah perdagangan Portugis di Samudera Hindia. Tak senang dengan kekuasaan Johor di Sumatera Timur, pada tahun 1564 Aceh menyerang Johor. Dalam penyerangan itu Aceh membunuh sultan Johor Alauddin Ri’ayat Syah I dan mengambil alih kekuasaan atas Aru. Tahun 1570 Aceh kembali menyerang Portugis. Namun untuk ketiga kalinya mereka gagal mematahkan perlawanan Portugis. Ekspedisi penyerangan selanjutnya terjadi pada tahun 1575 di bawah Sultan Ali Ri’ayat Syah I. Dalam penyerangan ini, Aceh yang dibantu Johor dan Bintan berhasil merusak beberapa kapal milik Portugis. Tak puas dengan penyerangan tersebut, tahun 1577 Aceh lagi-lagi menyerang Portugis. Namun kali ini giliran Aceh yang mengalami kerusakan fatal. Pada tahun 1582 dibawah Sultan Alauddin Mansur Syah, Aceh menyerang Johor. Namun karena pertolongan Portugis, Johor dapat mematahkan serangan itu.
Salah satu meriam Aceh pemberian sultan Turki Utsmani (sumber : http://www.peradabandunia.com)
Sultan Alauddin Mansur Syah adalah putra dari seorang raja Perak : Sultan Ahmad. Tahun 1575, ketika ayahnya memimpin kerajaan, sultan Aceh Ali Ri’ayat Syah I menyerang Perak. Invasi ini bertujuan untuk menguasai tambang-tambang timah di Semenanjung Malaya. Dalam penaklukan itu ayahnya mati terbunuh. Iba melihat anak dan janda Sultan Ahmad, Ali Ri’ayat Syah I memboyong keduanya pulang ke Aceh. Disana ia dirawat dan dibesarkan dalam lingkungan istana kerajaan. Ketika dewasa, Alauddin Mansyur Syah dijodohkan dengan putri Ali Ri’ayat Syah I : Putri Indra Ratna Wangsa. Beruntung baginya ia diangkat sebagai penguasa kerajaan yang dulu membunuh ayahnya. Alauddin Mansyur Syah naik tahta di penghujung tahun 1579, setelah tiga raja sebelumnya mati terbunuh. Meskipun berhasil duduk di tahta Aceh, namun banyak orang yang tak senang kepadanya. Pada tahun 1586, dalam keadaan kacau dan penuh gejolak ia dibunuh. Sementara Aceh dalam keadaan centang perenang, giliran Johor yang menyerang Portugis di Malaka. Namun penyerangan yang begitu hebat itu gagal menawan pasukan Feringgi. Tak senang mendapat gangguan dari selatan, di bulan Agustus 1587 Portugis melancarkan serangan balasan. Akibatnya ibu kota Johor di Kota Batu luluh lantak. Melihat kehancuran yang begitu parah, Sultan Abdul Jalil (raja Johor ketika itu) berinisiatif untuk memindahkan ibu kota ke Batu Sawar. Di Makam Tauhid ia kemudian membangun pusat pemerintahan yang baru. Terletak di tebing Sungai Damar, istana itu merupakan tempat yang cukup aman dari serangan Portugis. Sultan Abdul Jalil merupakan raja Johor yang anti-Portugis. Karena sikapnya itu ia tak pernah diganggu oleh penguasa Aceh. Di Aceh, setelah wafatnya Sultan Alauddin Mansur Syah, untuk kali keduanya mereka dipimpin oleh raja yang berasal dari luar. Dia adalah Sultan Buyung, salah seorang anggota keluarga Kesultanan Indrapura dari Minangkabau. Sultan yang bergelar Ali Ri’ayat Syah II itu, naik tahta berkat bantuan hulubalang Minangkabau yang berdagang di Kutaraja. Di masa pemerintahannya Aceh menghentikan politik konfrontasi dengan Portugis dan Johor di Semenanjung. Akibat kebijakan itu, Selat Malaka menjadi ramai dan perdagangan berkembang pesat. Huru-hara yang terjadi di kerajaan dalam sepuluh tahun terakhir berujung dengan terbunuhnya Sultan Buyung. Setelah kematiannya, Aceh diperintah oleh Alauddin Ri’ayat Syah Sayyid Al-Mukammil. Dia merupakan seorang pelaut, keturunan raja Darul Kamal. Untuk merebut tahta, ia telah membunuh banyak orang : Sultan Alauddin Mansur Syah serta cucunya Raja Asyem, dan juga mungkin Sultan Buyung. Pada masa kepemimpinannya, Aceh mulai menerapkan sentralisasi dengan politik tangan besi. Orang-orang kaya yang tidak sehaluan dengannya akan terkena azab. Menurut John Davis, Sayyid Al-Mukammil telah membunuh 1.000 orang kaya di Kutaraja dengan tipu muslihat. Walaupun keras, namun ia dikenal sebagai pemimpin yang saleh dan telah menciptakan kemakmuran bagi rakyat Aceh. Di masa pemerintahannya, para pedagang besar dari Gujarat, Siam, Belanda, Inggris, dan Prancis, datang berniaga. Tak hanya itu, ia juga mengirim para diplomatnya ke Belanda. Hal ini sebagai bentuk titian muhibah, setelah pasukan Aceh pimpinan Laksamana Malahayati melumat kapal-kapal Belanda di Selat Malaka. Setelah diplomasi tersebut, hubungan Aceh dan Belanda semakin rapat. Keadaan ini tentu mengkhawatirkan pihak Portugis, yang takut kalau koalisi Aceh – Belanda akan mengusir mereka dari perairan Melayu. Tahun 1604, Sayyid Al-Mukammil dikudeta oleh putranya sendiri Ali Ri’ayat Syah III. Pada masa pemerintahannya, giliran Portugis yang menyerang perairan
Aceh. Penyerangan itu bermaksud hendak mengambil pulau di lepas pantai, yang akan dipakai sebagai pos perdagangan. Namun pasukan bergajah Aceh berhasil menghalau Portugis pulang ke Malaka. Hanya tiga tahun memimpin, Ali Ri’ayat Syah III digantikan oleh kemenakannya : Iskandar Muda. Ada yang menyebut ia dikudeta, namun sebagian sejarawan mengatakan Iskandar Muda naik tahta karena penghormatan masyarakat terhadapnya. Sultan Iskandar Muda merupakan penguasa yang cemerlang sekaligus bertangan besi. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menjadi salah satu negeri termakmur di Nusantara. Ia menghidupkan majelis-majelis ilmu dan menegakkan hukum secara bijaksana. Wilayah kekuasaannya-pun cukup luas. Meliputi Semenanjung Malaya : Pahang, Perak, dan Kedah, serta sepertiga pantai timur Sumatera, dari Langkat, Deli, hingga Asahan. Dia juga berhasil melumpuhkan armada Portugis di Bintan dan menghancurkan Kesultanan Johor. Faktor keberhasilannya tentu karena ditopang oleh armada militernya yang kuat. Menurut Ricklefs, di masa kepemimpinannya Aceh memiliki angkatan laut yang tangguh, korps gajah, serta pasukan kavaleri yang menunggang kuda-kuda Persia. Ia juga memiliki 2.000 meriam terbaik yang didapat dari sekutu-sekutunya di Eropa. Setelah memperoleh pijakan yang kuat di Semenanjung, Aceh kembali menyerang Portugis di Malaka. Pada tahun 1629, Iskandar Muda mengirim beberapa ratus kapal dan 19.000 pasukannya ke Malaka. Namun kampanyenya tersebut belum berhasil. Meski dengan armada terbaik yang pernah dimiliki, Aceh lagi-lagi gagal memenuhi ambisinya memonopoli Selat Malaka.
Disamping berperang ada pula wilayah yang masuk ke dalam kekuasaanya dengan cara menikahi putri raja setempat. Seperti di Asahan, Iskandar Muda menikahi Siti Ungu Selendang Bulan, anak dari sultan Kota Pinang, Batara Gurga Pinayungan Tuanku Raja Nan Sakti yang berasal dari Pagaruyung. Namun setelah Iskandar Muda wafat, Asahan di Sumatera Timur malah jatuh ke pihak lain. Pagaruyung dan Johor merupakan pihak-pihak yang kerap menyusahkan hegemoni Aceh di pantai timur Sumatera. Iskandar Muda wafat pada tanggal 27 Desember 1636. Kekuasaannya kemudian dilanjutkan oleh putra raja Pahang sekaligus menantunya, Iskandar Thani. Dimasa beliau tak banyak yang dicatat selain keberhasilannya menjadikan Aceh sebagai pusat pengajaran Islam.
Sultan Iskandar Muda
Meski Aceh telah didukung oleh peralatan militer yang canggih, namun dalam hal strategi, Aceh masih kalah cerdik dari pedagang-pedagang Portugis. Memanfaatkan ambisi raja-raja Melayu, Portugis berhasil memprovokasi kerajaankerajaan di Nusantara untuk saling mencurigai. Sehingga meski Johor dan Demak (kemudian Jepara) sering membantu Aceh, namun sebenarnya bantuan tersebut tak pernah sepenuh hati. Sebab antara Aceh, Johor, dan Jawa memiliki ambisi yang sama, ingin memonopoli Selat Malaka. Terlebih Jawa yang mengontrol suplai beras ke Malaka, tak mau begitu saja kehilangan perdagangannya yang menguntungkan dengan Portugis. Jadi meskipun mereka sering berkoalisi, namun karena lemahnya koordinasi dan ego masing-masing, menyebabkan tak pernah efektifnya penyerangan ke Portugis. Hingga kedatangan Belanda ke Malaka di tahun 1641, Portugis selalu menjadi momok bagi kerajaan-kerajaan Nusantara
Lebih dari satu abad raja-raja “Melayu” silih berganti menggempur Portugis di Malaka. Namun koloni negeri liliput dari Semenanjung Iberia itu tetap kokoh berdiri. Meski begitu sejarah telah mencatat tak ada kekuasaan yang abadi. Begitu pula halnya dengan kekuasaan Portugis di Malaka yang harus berakhir pada tahun 1641. Saat itu di bulan Januari, kapal-kapal VOC dari negeri tanah rendah datang mengepung Malaka. Tujuan mereka hendak mendirikan pos perdagangan yang bisa mengontrol lalu lintas Selat Malaka. Penyerangan Belanda ke Malaka bermula dari sebuah perjanjian antara Cornelis Matelieff de Jonge dengan sultan Johor. Dalam perjanjian yang bertarikh 1606 itu, Belanda dan Johor sepakat untuk tidak saling serang. Kesepakatan itu kemudian berlanjut dengan pembentukan aliansi militer, yang bertujuan menyingkirkan Portugis dari Selat Malaka.
Kedatangan Belanda dan Melemahnya Kekuasaan Aceh
Setelah melalui serangkaian perdebatan, di bulan Agustus 1640, Belanda mengepung benteng Portugis di Malaka. Pengepungan ini baru membuahkan hasil lima bulan kemudian, setelah bobolnya benteng Portugis : A. Fomosa. Kejatuhan Malaka merupakan pukulan telak bagi Portugis yang sudah mengalami kekalahan demi kekalahan. Sebelumnya mereka telah dipecundangi Belanda di Kepulauan Maluku, dan akhirnya menyingkir ke Timor Leste. Setelah itu, Belanda juga berhasil menghalau para misionaris Portugis yang hendak menyebarkan ajaran Katholik di Kepulauan Jepang.
Dari rangkaian peperangan tersebut bisa dilihat, bahwa kebencian Belanda terhadap Portugis bukan semata-mata karena faktor ekonomi belaka, namun juga disebabkan oleh perbedaan agama. Di kalangan masyarakat Muslim-pun,
Istana Siak Sri Inderapura
orang-orang Katholik lebih dipandang sebagai musuh. Hal ini mungkin dikarenakan pengalaman Muslim yang sudah berabad-abad berperang dengan pihak Katholik. Dari masa holy cruscade hingga reconquista di Andalusia. Oleh sebab itu bagi penguasa Belanda dan sultan-sultan “Melayu”, Portugis lebih dipandang sebagai musuh bersama. Setelah terusirnya Portugis dari Malaka, kedudukan Johor di kawasan selat semakin menguat. Belanda satu-satunya kekuatan yang memiliki daya gedor cukup mumpuni, terus menjaga kedaulatan politik Johor. Selain terikat dengan perjanjian aliansi, secara finansial Belanda juga telah diuntungkan, yakni diperolehnya hak monopoli perdagangan di Semenanjung. Sementara itu di Aceh, pasca wafatnya Sultan Iskandar Thani tak pernah lagi lahir pemimpin yang perkasa. Periode 1641-1699, Aceh berturut-turut dipimpin oleh empat orang sultanah : Safiatuddin Tajul Alam, Nurul Alam Naqiatuddin Syah, Inayat Zaqiatuddin Syah, dan Kamalat Syah. Ketika dipimpin empat orang wanita inilah, kedudukan politik Aceh mulai memudar. Kelemahan Aceh mulai terlihat di tahun 1650, ketika Belanda memaksa Safiatuddin untuk memberikan hak monopoli perdagangan timah di Perak. Setelah itu ia juga memperbolehkan para pedagang VOC untuk membuka loji di Padang dan di kota-kota pesisir barat lainnya. H.J. De Graaf dalam bukunya “Geschiedenis Van Indonesie” mengungkapkan bahwa pada tahun 1641, Belanda telah memperoleh izin untuk berdagang di Padang, Pariaman, Tiku, dan Indrapura. Sesuatu yang tak pernah mereka peroleh pada masa sebelumnya. Meski tak memiliki tentara yang hebat, namun Safiatuddin telah menggiatkan pembangunan dayah (mushola) di seluruh Aceh. Dia juga membiayai para ulama untuk menulis kitab, terutama kitab-kitab agama. Beberapa penulis terkemuka yang rajin mengarang buku antara lain Nuruddin al-Raniri, Abdul Rauf Syiah Kuala, dan Daud Rumy. Ketertarikannya pada bidang keilmuan, telah menyebabkan sultanah abai terhadap peningkatan kualitas militer. Pada tahun 1699, sultanah yang terakhir Kamalat Syah menyerahkan tahta kesultanan kepada suaminya Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin. Dia merupakan keturunan Arab yang berasal dari golongan syarif. Setelah itu dua orang putranya yang naik tahta : Perkasa Alam Syarif Lamtui dan Jamalul Alam Badrul Munir, juga tak bisa berbuat apa-apa. Dua orang raja setelah itu hanya berkuasa tak lebih dari dua tahun. Sehabis itu terjadi huru-hara di Kutaraja yang menyebabkan runtuhnya dominasi para syarif. Kekuasaan mereka kemudian diambil alih oleh Maharaja Lela : Alauddin Ahmad Syah di tahun 1727. Alauddin merupakan putra Daeng Abdurrahim dan Nurul Alam Naqiatuddin Syah (sultanah Aceh ke-15). Neneknya dari garis ayah : Laksamana Malahayati, adalah seorang panglima yang gagah berani. Meski Alauddin keturunan tokoh kesohor, namun ia bukanlah pemimpin yang kuat. Keturunannya yang kemudian menciptakan dinasti Aceh-Bugis, tak pernah efektif hingga Perang Aceh meletus di tahun 1873.
Titik Balik Kesultanan Johor
Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Syah III, Johor berkonfrontasi dengan Jambi. Persengketaan itu bermula dari klaim Johor atas Tungkal yang berada di wilayah Jambi. Di tahun 1667, untuk menegakkan kedaulatan Johor, sultan membawa 7 buah kapal menyerang perkampungan nelayan di Jambi. Pada saat itu
beberapa perkampungan mengalami kehancuran. Tak terima dengan penghinaan itu, enam tahun kemudian Jambi membalas penyerangan Johor dengan merusak ibu kotanya di Batu Sawar. Atas serangan tersebut, raja muda Johor bersama seluruh pengikutnya lari bersembunyi ke dalam hutan. Bendahara Johor kemudian ditawan dan dibawa pulang ke istana Jambi. Dengan kemenangan itu Jambi memperoleh harta rampasan perang yang berlimpah ruah. Barang-barang berharga milik Johor — termasuk 4 ton emas dan senjata api, habis tandas diambil Jambi. Meski mengalami kekalahan cukup telak, namun Johor berhasil bangkit kembali. Menurut Leonard Andaya, pada masa pemerintahan Bendahara Tun Habib Abdul Majid, Johor menjadi salah satu negeri termakmur di Semenanjung Melayu, dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup fantastis. Pada tahun 1697, Bendahara Tun Habib meninggal dunia. Pemerintahan Johor kemudian sepenuhnya dikendalikan oleh Sultan Mahmud, seorang gila yang tak cakap dalam memimpin. Pernah suatu ketika ia mendapatkan hadiah pistol dari pedagang Skotlandia : Alexander Hamilton. Untuk mencoba seberapa ampuh peluru yang ada pada senjata itu, ia dengan sengaja membunuh salah seorang rakyatnya. Kepemimpinannya yang zalim telah mengakibatkan hengkangnya sebagian besar pedagang muslim dari pelabuhan Johor. Andaya menyebutkan dalam dua tahun pemerintahannya, Johor telah berubah dari pusat perdagangan yang ramai menjadi kampung kecil yang tak lagi berarti. Karena perangainya yang tak elok, pada tahun 1699 Sultan Mahmud dibunuh oleh salah seorang pembesar kerajaan. Setelah kematiannya, Bendahara Tun Abdul Jalil (putra Tun Habib Abdul Majid) diangkat sebagai sultan Johor dengan gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Naiknya Bendahara Tun Abdul Jalil ternyata tak disukai oleh sebagian rakyat Johor, terutama masyarakat Suku Laut. Alasannya karena ia bukan dari wangsa Malaka-Johor yang memiliki garis keturunan Raja Iskandar Zulkarnain. Dalam kosmologi rakyat “Melayu”, terdapat keyakinan bahwa raja-raja mereka berasal dari zuriat yang sama, yakni Raja Iskandar Zulkarnain. Keturunannya : Sang Sapurba (Sang Nila Utama ?) keluar dari tanah Minang, kemudian beranak pinak dan menjadi raja di berbagai kerajaan Nusantara. Kepercayaan inilah kemudian yang dilegitimasi oleh beberapa orang penguasa sebagai rujukan untuk mencari penerus raja-raja “Melayu”. Oleh karena itu ketika Raja Kecil — yang mengaku sebagai putra Sultan Mahmud — hendak merebut tahta dari Abdul Jalil, masyarakat Suku Laut dengan senang hati mendukungnya.
Pengaruh Pagaruyung dan Kejayaan Siak Sri Inderapura
Pulau Penyengat
Dalam sejarah Melayu, asal usul Raja Kecil masihlah misterius. Raja Pagaruyung Sultan Indermasyah, dalam korespondensinya dengan VOC mengaku bahwa Raja Kecil adalah saudaranya. Leonard Andaya menyebutnya sebagai ketua masyarakat Minangkabau di Siak. Sedangkan Rosihan Anwar dalam novelnya, menjuluki Raja Kecil sebagai raja bajak laut di Selat Malaka. Pendapat lainnya datang dari Kamardi Rais Datuk Simulie, yang mengatakan bahwa ia merupakan keturunan Sultan Mahmud yang beribukan putri dari Pagaruyung. Dari beberapa pendapat di atas penulis mengikut kepada Andaya yang juga diyakini oleh sebagian besar sejarawan, bahwa Raja Kecil adalah pengelana Minangkabau yang berkuasa di kawasan Siak. Meski datang dari kalangan rakyat biasa, namun Raja Kecil memiliki ambisi yang besar. Ambisinya itu seiring dengan keinginan raja-raja Pagaruyung yang hendak menguasai Semenanjung Malaya. Untuk memuluskan ambisi tersebut, dengan cerdik raja Minangkabau memanfaatkan ketidaksenangan rakyat Johor terhadap penguasa mereka. Maka dibuatlah suatu siasat yang melegitimasi Raja Kecil sebagai pewaris sah Kesultanan Johor. Sebelumnya pada tahun 1716, Raja Kecil yang mewakili Sultan Indermasyah, telah melakukan kesepakatan dagang dengan VOC. Kesepakatan ini mungkin untuk mengamankan langkah Pagaruyung mengambil alih tahta Johor dari tangan Abdul Jalil. Atas dukungan Orang Laut, pada tahun 1718 Raja Kecil berhasil menyingkirkan Bendahara Abdul Jalil dari tampuk kekuasaan. Sejak saat itu hingga lima tahun ke depan, Kesultanan Johor berada di bawah kekuasaan Pagaruyung. Penguasaan ini melengkapi dominasi Pagaruyung di Selat Malaka, dimana sebelumnya (tahun 1660) mereka juga berhasil menguasai tambang-tambang emas di Jambi. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, keinginan Pagaruyung untuk terus berkuasa di Semenanjung tak sepenuhnya berjalan mulus. Para petualang Bugis yang juga berhasrat untuk menguasai Johor, menunutut hak sebagai raja muda di kesultanan. Karena mendapat penolakan dari Pagaruyung, maka petualang Bugis di bawah pimpinan Daeng Merawah – bersama dua orang kerabatnya dari Luwu — berkomplot dengan Bendahara Abdul Jalil menyerang istana Johor. Pada tahun 1723 setelah keadaan mereda, orang-orang Bugis mendudukkan Sultan Sulaiman (putra Abdul Jalil) sebagai sultan Johor, dan Daeng Merawah naik sebagai raja muda. Pengangkatan ini tentu tak disukai oleh masyarakat Suku Laut yang merupakan loyalis Raja Kecil. Karena takut mendapat serangan Pagaruyung, sultan-sultan Johor terpaksa bergantung kepada pasukan Bugis. Malangnya, pasukan ini tak menaruh setia kepada raja-raja Melayu. Sehingga ketika Johor mendapat ancaman dari Siak, dan kekuatan Bugis tak dapat dihandalkan lagi, maka Johor berputar haluan dengan meminta bantuan kepada Belanda di Malaka. Setelah tak dapat mempertahankan kekuasaannya di Johor, Raja Kecil akhirnya mundur ke daratan Riau. Disini ia bersama para pengikutnya mendirikan daulah baru yang kemudian dikenal dengan Kesultanan Siak Sri Inderapura. Seperti yang tercatat pada laporan Tome Pires (tahun 1513), negeri Siak telah lama menjadi pelabuhan dagang raja Minangkabau. Dari laporan itu kita bisa mengetahui bahwa sejak dahulu kala Siak merupakan kawasan yang bertaut dengan raja-raja Pagaruyung. Mungkin karena itulah legitimasi politik Raja Kecil yang mendirikan kesultanan di kawasan ini dapat dibenarkan. Karena kuatnya dukungan Pagaruyung dan loyalitas Orang Laut, pada tahun 1724 Raja Kecil — kemudian bergelar Sultan Abdul Jalil, melakukan invasi ke daerah Rokan dan Bintan. Di Bintan ia membangun pertahanan armada laut sebagai pangkalan untuk menyerang kawasan seberang
lautan. Namun di tahun 1728, atas perintah Sultan Sulaiman penguasa Johor, pasukan Bugis mengusir Siak dari kawasan itu. Kemudian mengikuti strategi Siak, ibu kota Johor-pun berpindah dari Semenanjung ke Bintan, tepatnya di Pulau Penyengat. Meski kehilangan Bintan, namun sultan Siak terus memperluas kekuasaannya. Pada tahun 1740, Raja Kecil menaklukan beberapa kawasan di Semenanjung Malaya. Enam tahun kemudian, penggantinya : Sultan Abdul Jalil Syah II memperkuat kedudukan di Kedah dan pesisir timur Semenanjung. Pada tahun 1761, terdapat dualisme kepemimpinan di Kesultanan Siak. Raja Muhammad Ali yang didukung Belanda, naik menjadi sultan Siak. Sementara sepupunya Raja Ismail yang tak disukai Belanda, tersingkir dan muncul sebagai penguasa lautan. Meski tak didukung oleh Belanda, namun Raja Ismail memiliki kemampuan yang setara dengan para pendahulunya. Dia memiliki kecakapan berperang dan lihai dalam memelihara kesetiaan masyarakat Suku Laut. Setelah mengumpulkan para pengikutnya, ia kemudian membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh. Raja Ismail terus menunjukan pengaruhnya dengan membantu Kesultanan Terengganu dalam menaklukan Kelantan. Untuk memperkokoh kedudukannya di Semenanjung, ia menikahi putri Sultan Mansur I penguasa Terengganu. Dominasi Raja Ismail di kawasan timur Sumatera, mulai bertaji setelah ia mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka dan menaklukan Mempawah di Kalimantan Barat. Sementara itu pesaingnya : Raja Muhammad Ali yang didukung oleh Belanda, berhasil menjadikan Johor sebagai wilayah jajahannya. Dengan penaklukan itu maka untuk kali pertama Johor bertekuk lutut di bawah kaki penguasa Siak, dan Muhammad Ali berhasil mengulang kejayaan imperium Johor-Riau seperti masa kepemimpinan Sultan Abdul Jalil Syah III. Pada tahun 1779, Raja Ismail kembali menaiki tahta Siak. Dimasa inilah ia menyerang Kesultanan Sambas di Kalimantan Barat. Namun penyerangan itu dapat dipatahkan oleh rakyat Sambas di bawah pimpinan Pangeran Anom. Dua tahun kemudian Raja Ismail digantikan oleh Sultan Yahya. Pada tahun 1782, ia membuat perjanjian dengan Belanda untuk berperang melawan Inggris. Setelah Yahya wafat, pada tahun 1791 Kesultanan Siak dipimpin oleh raja-raja berketurunan Arab. Diawali oleh Sultan Abdul Jalil Saifudin, putra sayid Osman Ali Ba’alawi, yang menikahi cucu Raja Kecil. Kemudian Sultan Abdul Jalil Khaliluddin dan Sultan Abdul Jalil Jalaluddin. Seperti halnya di Kesultanan Aceh Darussalam, di Siak-pun ketika keturunan Arab yang memimpin, kesultanan memasuki fase kemunduran. Banyak perjanjian-perjanjian yang ditandatangani malah merugikan kedaulatan negara. Seperti perjanjian dengan Inggris (1818) dan Belanda (1822) yang melepas beberapa wilayah Siak untuk dijadikan sebagai koloni dagang mereka.
Reputasi Kesultanan Siak yang pada masa jayanya pernah menguasai wilayah Semenanjung Malaya hingga Kalimantan Barat, harus berakhir dengan cara yang tak mengenakkan. Berdasarkan Traktat London — perjanjian yang ditandatangani antara Belanda dan Inggris pada tahun 1824, banyak wilayah Siak yang jatuh ke tangan kolonialis Eropa. Ex. Kesultanan Johor diambil alih oleh Inggris dan kedudukan rajanya kembali dipulihkan. Sedangkan Belanda mendirikan Kesultanan Lingga, dan mendudukkan raja muda di Pulau Penyengat sebagai raja boneka. Di saat yang sama, Belanda juga membentuk residensi Riau di sebelah barat Siak, dan memasukkan wilayah itu ke dalam imperium Hindia-Belanda. Dalam traktat itu juga disepakati bahwa wilayah Belanda di Malaka akan diserahkan kepada Inggris, dan wilayah Inggris di Bengkulu akan menjadi milik Belanda. Dengan terbitnya keputusan London, maka kedudukan Siak semakin tenggelam. Pada tahun 1824, wilayah kekuasaannya hanya terbatas di kawasan Deli, Serdang, Langkat, Asahan, dan Indragiri. 39 tahun kemudian, semua wilayah itu lenyap dan menjadi bagian kolonial Hindia-Belanda. Sejak saat itu berakhirlah kekuasaan orang-orang “Melayu” di Selat Malaka. Perairan yang mengontrol sepertiga perdagangan dunia itu, harus jatuh ke dalam pangkuan orang-orang Eropa. Dan sampai saat inipun, kita orang-orang “Melayu” belum sepenuhnya memperoleh kedaulatan atas perairan yang pernah membawa bangsa kita ke puncak kejayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar